TASIKMALAYA – Turnamen Piala Presiden 2025 bukan sekadar ajang pemanasan sebelum kompetisi liga dimulai. Lebih dari itu, gelaran ini menjadi tolak ukur keberhasilan transformasi manajemen sepak bola Indonesia—mulai dari sistem ticketing modern, pelibatan suporter secara aktif, hingga dampak sosial ekonomi yang dirasakan langsung masyarakat.
Di tengah semakin tingginya ekspektasi publik terhadap sepak bola nasional, Piala Presiden 2025 hadir membawa standar baru penyelenggaraan kompetisi. Bukan hanya dari sisi teknis pertandingan, tetapi juga dalam hal pengelolaan, pelayanan, dan keterlibatan komunitas.
Digitalisasi Tiket: Perang Melawan Calo dan Kepalsuan
Salah satu langkah revolusioner yang menandai era baru ini adalah penerapan sistem penjualan tiket yang sepenuhnya digital. Melalui situs resmi pialapresiden2025.com, suporter kini dapat membeli tiket dengan mudah, aman, dan tanpa rasa khawatir akan penipuan.
Dengan harga seragam sebesar Rp50.000 per pertandingan untuk seluruh tribun, serta bundling tiga laga seharga Rp120.000, sistem ini dirancang untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa mengorbankan keamanan dan kenyamanan.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir menyebut bahwa digitalisasi adalah kunci utama dalam membangun ekosistem sepak bola yang sehat.
“Kita ingin membuat pengalaman menonton sepak bola terasa profesional dan menyenangkan. Ini bukan hanya soal pertandingan, tapi juga soal kepercayaan publik terhadap tata kelola sepak bola,” ujarnya, dikutip dari bola.net.
Suporter Sebagai Pusat Ekosistem Sepak Bola
Lebih dari 22 ribu tiket telah terjual hanya untuk pertandingan pembuka antara Oxford United vs Liga Indonesia All Stars di SUGBK. Angka ini tidak hanya mencerminkan animo besar publik, tapi juga menjadi bukti nyata bahwa suporter memiliki posisi sentral dalam ekosistem sepak bola.
Ribuan pendukung dari berbagai wilayah bahkan telah tiba di Jakarta sehari sebelum laga berlangsung. Mereka datang dengan semangat tinggi, menunjukkan bahwa loyalitas terhadap sepak bola nasional masih sangat kuat, asalkan disambut dengan sistem yang adil dan transparan.
“Atmosfer yang diciptakan suporter inilah yang menjadi bahan bakar utama kemajuan sepak bola kita,” kata Erick. “Tugas kami adalah memastikan mereka merasa dihargai.”
Keterlibatan UMKM: Turnamen yang Menggerakkan Ekonomi Rakyat
Piala Presiden 2025 juga memperlihatkan bahwa sepak bola bisa menjadi alat pemberdayaan ekonomi masyarakat. Di sekitar stadion, penjualan makanan, minuman, suvenir, hingga transportasi lokal mengalami lonjakan permintaan yang signifikan.
Bagi para pelaku UMKM, momen ini menjadi berkah. Turnamen bukan hanya hiburan, tapi juga ladang rezeki yang membawa dampak langsung bagi kehidupan mereka.
“Kami ingin memastikan setiap gelaran sepak bola memberikan efek berganda, tidak hanya untuk klub dan pemain, tapi juga bagi masyarakat kecil yang menggantungkan penghasilan dari keramaian seperti ini,” jelas Erick Thohir.
Aksesibilitas dan Inklusivitas Jadi Prioritas
Harga tiket yang terjangkau dan sistem pembelian yang mudah diakses dari seluruh Indonesia menunjukkan bahwa PSSI mulai menerapkan prinsip inklusivitas dalam industri sepak bola. Tak ada lagi dominasi kelas tertentu dalam menikmati pertandingan besar.
“Ini bukan soal siapa yang punya uang lebih, tapi siapa yang punya cinta lebih untuk timnya,” ujar seorang suporter asal Tasikmalaya yang rela menempuh 7 jam perjalanan demi menyaksikan laga pembuka di SUGBK.
Bintang Asing, Panggung Globalisasi
Kehadiran tim luar negeri seperti Oxford United juga membawa warna baru. PSSI ingin menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia kini terbuka terhadap dunia internasional. Ini adalah bagian dari upaya branding sepak bola Indonesia sebagai industri yang siap bersaing secara global.
Pertandingan pembuka pada 6 Juli 2025 antara Oxford United melawan Liga Indonesia All Stars bahkan disebut-sebut sebagai momen bersejarah. Ini adalah kali pertama sebuah klub Eropa berlaga di panggung Piala Presiden, dan sambutannya luar biasa.
PSSI: Dari Reaktif ke Proaktif
Semua pencapaian ini tidak lepas dari pergeseran paradigma dalam tubuh PSSI. Jika dulu organisasi ini lebih sering bersifat reaktif terhadap masalah, kini PSSI mulai menerapkan pendekatan proaktif, sistematis, dan berbasis data dalam mengelola kompetisi.
Mulai dari evaluasi layanan tiket, sistem keamanan stadion, hingga keterlibatan komunitas, semuanya berjalan dengan pendekatan yang lebih matang.
“Piala Presiden 2025 adalah wajah baru sepak bola kita. Ini adalah awal dari proses panjang menuju industri olahraga yang dikelola secara profesional, modern, dan berkelanjutan,” pungkas Erick. (LS)