TASIKMALAYA – Sepanjang tahun 2025, tercatat sebanyak 180 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Tasikmalaya. Angka tersebut dirilis oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKBP3A) Kota Tasikmalaya dan menunjukkan masih tingginya angka kekerasan di wilayah yang dikenal religius tersebut.
BACA JUGA : Tigadelapan.id Hadir di Tasikmalaya, Sajikan Kopi, Cerita, dan Suasana Hangat
Ketua Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) Kota Tasikmalaya, Heni Handini, M.Pd, mengungkapkan bahwa dari jumlah tersebut, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mendominasi, disusul kekerasan seksual dan penelantaran anak.
“Setiap kali menerima laporan, kami tahu di baliknya ada jiwa yang butuh ditolong, bukan sekadar kasus yang dicatat,” ujar Heni di Tasikmalaya, Kamis (30/10/2025).
Menurutnya, angka tersebut belum sepenuhnya menggambarkan kondisi di lapangan karena masih banyak korban yang enggan melapor akibat rasa malu, takut dikucilkan, serta ketergantungan ekonomi terhadap pelaku.

“Angka itu bisa lebih besar karena banyak korban memilih diam. Mereka takut merusak nama baik keluarga atau tidak tahu harus mencari bantuan ke mana,” tambahnya.
Data Nasional Masih Mengkhawatirkan
Secara nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat lebih dari 23 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2024 melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA).
Data itu menunjukkan bahwa rata-rata setiap dua jam ada satu perempuan atau anak yang menjadi korban kekerasan di Indonesia.
“Tren kekerasan masih tinggi di tingkat nasional. Ini jadi peringatan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak harus menjadi prioritas bersama,” kata Heni.
Forum Puspa Gelar Pelatihan Paralegal
Sebagai upaya nyata mendorong perlindungan korban, Forum Puspa Kota Tasikmalaya menggelar Workshop Paralegal Perlindungan Anak dan Perempuan di Gedung Galih Pawestri, Rabu (29/10/2025).
Sebanyak 64 anggota Forum Puspa mengikuti pelatihan tersebut untuk memperkuat kapasitas pendampingan korban kekerasan di tingkat masyarakat.
“Kami ingin masyarakat, terutama perempuan, memiliki akses keadilan yang lebih cepat. Paralegal akan menjadi jembatan antara korban dengan lembaga hukum,” jelas Heni.
Paralegal yang dilatih bukan advokat profesional, namun relawan yang memahami dasar hukum, hak-hak korban, serta prosedur pelaporan ke aparat berwenang. Mereka diharapkan menjadi pendamping awal bagi korban sebelum mendapat layanan hukum dan psikologis lanjutan.
Ketiadaan Rumah Aman Jadi Kendala
Heni menyebut, salah satu kendala utama dalam perlindungan korban kekerasan di Tasikmalaya adalah belum adanya rumah aman (shelter) yang berfungsi sebagai tempat perlindungan sementara bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
“Banyak korban tidak bisa pulang karena pelaku masih tinggal di rumah, kadang keluarga sendiri. Tapi mereka juga tidak tahu harus tinggal di mana. Ini menyedihkan,” ungkapnya.
Selain itu, layanan psikologis bagi korban juga sangat terbatas. Saat ini, hanya satu rumah sakit swasta di Kota Tasikmalaya yang memiliki poli jiwa.
“Syukurlah rumah sakit itu memberi keringanan biaya, tapi tetap tidak semua korban mampu menjangkaunya,” kata Heni.
Pemkot Siapkan Ruang Aman di RS Dewi Sartika
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas PPKBP3A Kota Tasikmalaya, H. Imin Muhaemin, menyatakan bahwa Pemerintah Kota Tasikmalaya tengah menyiapkan ruang aman di RS Dewi Sartika sebagai solusi sementara sebelum pembangunan rumah aman permanen dilakukan.
“Ruang aman ini menjadi langkah awal untuk memastikan korban kekerasan mendapatkan tempat perlindungan dan pendampingan yang layak,” ujar Imin.
Menurutnya, ruang aman tersebut akan difungsikan sebagai tempat singgah sementara yang dilengkapi dengan layanan trauma healing, konseling psikologis, serta pendampingan hukum.
Dukungan DPRD dan Lintas Sektor
Kegiatan pelatihan paralegal tersebut juga mendapat dukungan dari Wakil Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, H. Wahid, S.Pd.I, yang turut hadir membuka acara.
Ia menyebut, inisiatif Forum Puspa merupakan langkah penting di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Para kader Forum Puspa luar biasa. Mereka berjuang membantu korban kekerasan dengan waktu dan tenaga mereka sendiri. Pemerintah perlu memberi dukungan penuh,” ujarnya.
Wahid menilai, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan menjadi kunci dalam upaya pencegahan kekerasan.
“Masyarakat harus paham bahwa kekerasan bukan urusan pribadi, tetapi pelanggaran hukum dan kemanusiaan. Edukasi hukum dan kesadaran sosial harus terus digencarkan,” tegasnya.
Tantangan Budaya dan Peran Komunitas
Sementara itu, pegiat sosial dari Paguyuban Pegiat Disabilitas Tasikmalaya (Papeditas), Harniwan Obech, menyoroti faktor budaya sebagai salah satu hambatan pelaporan kasus kekerasan di daerah.
“Nilai-nilai patriarki masih kuat. Banyak perempuan takut melapor karena khawatir dianggap pembangkang atau mempermalukan keluarga,” ujarnya.
Karena itu, Forum Puspa memilih pendekatan persuasif dan berbasis empati dalam melakukan edukasi dan pendampingan. Forum ini juga aktif menyosialisasikan kesetaraan gender, komunikasi sehat dalam keluarga, serta hak-hak anak dan perempuan melalui sekolah, kampung, dan majelis taklim.
“Jika ada laporan, kami langsung koordinasi lintas sektor. Kami ingin korban merasa bahwa ada yang siap membela mereka,” kata Heni.
Menuju Kota Ramah Perempuan dan Anak
Forum Puspa Kota Tasikmalaya juga membentuk tim pemulihan multidisiplin yang terdiri dari psikolog, psikiater, advokat, dan relawan sosial untuk mendampingi korban dari sisi hukum, sosial, dan psikologis.
Heni menyampaikan harapannya agar ke depan Tasikmalaya tak hanya dikenal sebagai Kota Santri, tetapi juga sebagai Kota Ramah Perempuan dan Anak.
“Perempuan dan anak harus merasa aman di mana pun berada. Mereka tidak boleh takut bicara dan tidak boleh merasa sendirian,” katanya.
Ia menegaskan, kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya masalah hukum, tetapi juga persoalan sosial dan kemanusiaan yang membutuhkan sinergi lintas sektor.
“Langkah kecil seperti pelatihan paralegal menjadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari kepedulian,” pungkasnya. (rzm)












